Ini hari kamis, tapi entah kenapa saya merasa besok itu hari jumat, makanya saya sedikit menggerutu dalam hati, ingin sekali rasanya besok jumatan di kota lain. Supaya apa yah, supaya bisa berbagi pahala dengan suku lain di Indonesia. Suku betawi. Yasudah saya berangkat saja. Tidak banyak pikir ini itu karena kalau mau mikir ini itu nanti saja ketika uas. Tapi saya sudah tidak uas, semester 7 mau ke 8 ini. Ya sudah berarti terserah saya yah hidupnya mau gimana nanti. Sudah besar juga. Sudah tidak pake gel rambut lagi, sudah tidak dengar my chemical romance lagi. Intinya sudah besar.
Hari pertama, saya mengenal apa itu daerah yang diberi nama cibubur. Tepatnya daerah kranggan. Sebelumnya saya lewat tol. Tidak mau lewat purwakarta karena saya pikir jauh. Sebenarnya bukan saya yang berpikir, tapi rudi. Maklum rudi itu bawa mobil. Iya jadi saya tiba di kranggan. Kesan pertama saya ketika tiba disana ialah gerah sekali disini. Keringat lengket sangat menempel di leher saya dan tidak mau enyah. Saya sendiri cukup memakluminya karena suhu disana sangatlah tinggi, sekitar 33 derajat selsius. Belum lagi dekat dengan pantai. Sangat saya maklumi, masa saya protes, terlalu banyak tersangka yang patut dimintai pertanggungjawabannya, terkait panas nya Jakarta.
‘lebih baik mati daripada tidak punya kipas angin di jakarta’ terkesan menjadi sebuah jargon asli buatan saya yang berlebihan tapi amatlah sangat relevan. Maklum (lagi) saja, tanpa angin segar sepertinya Jakarta tidak layak tinggal sekali. Namun apa mau dikata, melihat banyaknya gedung-gedung yang bikin pegal leher untuk sekedar mencari dimana puncaknya dan apa nama gedungnya, setidaknya sudah sangat mewakili bahwa Jakarta merupakan kota yang amat sangat berharga untuk memenuhi dompet masing-masing manusia pintar Indonesia.
Spesialisasi Jakarta yang lain ialah terdapatnya suatu tol, walaupun itu di dalam kota. Jakarta yang secara geografis cukup besar, memiliki alasan kuat untuk membangun jalan tol demi melancarkan arus perekonomian yang syarat utamanya ialah akses jalan yang lancar pula, terlebih karena Jakarta merupakan ibukota. Sayangnya hal ini menjadi sumbu awal adanya kecemburuan pembangunan. Sempat terlintas di benak saya, kenapa kepalang maju sekali ini kota, dari mana uangnya, apa jadinya ketika orang nusa tenggara ataupun papua diajak jalan-jalan keliling Jakarta? Maka menjadi sebuah kewajaran ketika mereka merasa tidak rela, merasa diperas, karena hasil bumi wilayah mereka, dirumuskan dalam sebuah APBN, dan dialokasikan untuk pembangunan pusat kota yang berlebihan, inilah ini, sebuah imperialisme baru yang dibangun secara tidak langsung oleh Indonesia dalam perspektif teori konspirasi, imperialisme yang dirumuskan, dalam usaha memeras penuh kedaulatan bangsanya sendiri.
Buruk sangka akan kesempurnaan Jakarta tidaklah berlangsung lama dalam benak saya, karena kau harus tahu, bahwa kemudian saya berkunjung ke daerah urban di sekitaran cempaka putih bernama kampung rawa. Sebuah pemukiman semi kumuh yang terbilang padat. Banyak sekali anak kecil dan nenek tua renta disini, beberapa diantaranya terdapat pemuda bertato dengan air muka perantau, yang terlihat berkumpul untuk hanya sekedar meraih satu tengguk kopi hitam dan sedikit tawa yang sekiranya hanya beberapa persen mengurangi beban hidup mereka. Hampir setiap rumah terdapat anak kecil. Konon, di wilayah ini banyak sekali pengangguran dengan pendapatan dibawah rata-rata, yang otomatis tergolong tidak mampu, termasuk dalam memenuhi kebutuhan untuk mendapatkan hiburan. Hiburan mereka apa mau dikata hanya membuat anak, yang kemudian menjadi hipotesis sementara saya menjawab tanda Tanya besar, mengapa banyak sekali manusia disini. Untuk gambaran tata ruang perumahannya, jujur saja, sangatlah tidak layak. Beberapa rumah berukuran kecil, pengap dan hanya diterangi lampu neon kerap diisi oleh puluhan kepala manusia. Jalan sangatlah sempit, dan diisi penuh oleh anak kecil usia nanggung yang tengah bermain bola dengan fantasi masing-masing ingin menjadi siapapun, mungkin bambang pamungkas, atau irfan bachdim, atau juga luis suarez atau bahkan bacary sagna? Siapa yang tahu isi otak mereka, kecuali tembok bisu bergambar kemaluan yang dimodif dengan sayap, yang menjadi saksi biksu mimpi-mimpi mereka, Yang kemudian buyar oleh bau selokan yang amat sangat menyengat.
Warna warni di Jakarta semakin terasa ketika saya mulai mengelilingi kembali sudut jalan Jakarta dengan seksama. Dan lihatlah itu, diatas jembatan, jembatan yang seharusnya dipakai orang untuk menyeberang jalan, terdapat orang yang sedang melaksanakan solat, lengkap dengan peci dan brewok yang lebat. Sangat ganjil, dan semakin membuat saya malas untuk bercanda. Hati saya terlalu marah melihat keanehan-keanehan ini. Saya harus istirahat, nanti saya cerita lagi di paragraph berikutnya.
Saya tepati janji saya untuk cerita lagi. Karena kamu harus tahu, saya pergi ke citos, cilandak town square, ih namanya ikut-ikutan mall di tempat saya kuliah, jatos, jatinangor town square, mirip kan? Sebel yah? Sama saya juga. Saya kesana, ke tempat yang disinyalir menjadi sarang anak gaul Jakarta itu. Dan memang terbukti banyak sekali anak Jakarta dengan kulit bersih, muda, kaya dan berisik bercokol di sudut-sudut outlet foodcourt di mall yang lebar kepinggir ini. Mereka berisik, ngomong dengan lepas gaya bahasa mereka yang menurut mereka gaul beut nyet. Tapi jujur saya tidak suka, entah kenapa, mungkin karena saya tidak kenal mereka, tidak tahu bahwa sebenarnya mereka baik, sebenarnya mereka tidak sekaya itu, mereka Cuma menyesuaikan diri dengan lingkungan, tidak peduli ayahnya tengah collapse di perusahaan nya, tidak tahu, tidak urus. Kalau urus, nanti dibilang kepo. Lebih baik diam.
Citos penuh dengan outlet makanan impor luar. Sebutlah disana A&W, burgerking, malayfood, dan starbucks. Yang terakhir itu minuman, saya jelaskan supaya kamu tahu. Saya cari mana ini karedok, mana ini lontong sayur, mana juga ini nasi padang, tapi bohong, saya tidak senasionalis itu, sampai-sampai makan harus makanan Indonesia, makanan luar boikot, diboikot karena tahu keuntungannya dipake buat nyerang irak afganistan dan sebagainya. Saya tidak sampai begitu sih, tapi yang saya sayangkan, ya itu tadi, mall seakan menggiring pemuda untuk menyamakan mindset bahwa makan makanan produk westernisasi itu keren, makanan lokal nomor dua saja dengan dalih bosan, atau ga suka, atau ga enak, atau mukamu ga enak? perlu merica? Nanti saya tabur, di mata kalian ya.
Pemuda dengan bungkus badan masing-masing juga, aduh saya miris melihat gadis-gadis terlebih tante-tante berumur yang ingin tampil dan kesebut seksi. Aduh jatuhnya maksa sih tapi saya diam saja deh supaya ncang-ncing kaga tersinggung yak. Tapi jujur mereka bersih-bersih, wangi, modis, dan sehat. Prianya juga tak kalah nyetel. Kebanyakan bergaya anak nongkrong sepedah, deskripsinya, ya begitulah, kamu juga pasti tahu kalau anak sepedah setelannya pakai sepatu, celana pendek, kacamata dan sesekali topi. Mencari jati diri itu terkadang memang perlu pemakluman ekstra. Yasudah, mau bagaimana lagi, atmosfer peradaban juga yang menggiring mereka. Kita mah merhatikan saja, ngomongin juga deh sedikit. Menghibur diri, bahwa kita sedikit jauh diatas mereka dari segi attitude dan prinsip.
Dan saya pulang. Meninggalkan ibukota, ibukota yang entah mungkin menjadi tempat bekerja saya kelak, atau mungkin ibukota yang kelak menjadi kota kedua karena akan saya pindahkan status keibukotaannya ke kota lain karena saya sudah jadi presiden, atau mungkin ibukota yang kelak ditelan banjir rob karena amblasnya tanah mereka setiap tahun, ibukota yang menjadi figure yang dicemburui oleh sahabat kita di ujung barat aceh hingga sudut kanan papua, ibukota. Ibu dari segala kota. Jakarta. Semoga kita berjumpa di lain waktu.